Kamis, 26 Juli 2012

Soal Kepwal, Dewan Kecolongan

CIKOLE - Keputusan Walikota nomor 142/2011 diterbitkan pada Juli tahun lalu. Aturan tentang pemanfaatan ruang dalam wilayah Kota Sukabumi ini kemudian menjadi tonggak terbitnya 1.220 ijin dan menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekitar Rp615 juta. Namun baru sekarang dipersoalkan anggota DPRD Kota Sukabumi. Bahkan Sekretaris Komisi I Eeng Iwan Ruswandi 'tidak malu' mengakui kalau pihaknya kecolongan dengan penerbitan kepwal yang melanggar Peraturan Pemerintah nomor 15/2010 itu.
 Kini lembaga legislasi itu baru mau mengambil langkah mundur. Mengkonsultasikan penerbitan kepwal ke Bagian Hukum Pemprov Jawa Barat, setelah enam bulan bahkan sudah hampir tujuh bulan kepwal 142 'merajalela' di Kota Sukabumi. "Kami memang tidak tahu penerbitan Kepwal itu, baru tahu sekarang setelah bergulir di media," tutur Eeng, kemarin.
 Sebagai tindak lanjut dari Komisi I, kata Eeng, pihaknya akan mengkonsultasikan laik tidaknya penerbitan kepwal untuk  menyiasati kekosongan aturan menyusul berakhirnya Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). “Kita akan coba berkonsultasi dengan Bagian Hukum Pemprov Jawa Barat. Masalahnya, kebijakan yang dikeluarkan tersebut apa memang mempunyai dasar hukum yang kuat atau tidak,” ujar Eeng.
 Menurutnya, pada dasarnya permasalahan ini memang dilematis. Di satu sisi pemerintah daerah berkewajiban memberikan pelayanan terhadap masyarakat, di sisi lain ada peraturan yang memberlakukan untuk tidak melakukan pungutan Ijin selama perda baru belum disahkan. “Kita belum tahu seperti apa kekuatan hukum kepwal sendiri. Masalahnya, mereka menggunakan UU sebagai landasan hukum pengeluaran kepwal tersebut. Tapi lain sisi, memang dalam PP lebih detail, tidak diperbolehkan. Namun yang jelas, kita akan secepatnya melakukan pengkajian permasalahan hukum tersebut ke Pemprov Jawa Barat,” lanjutnya.
 Sementara itu, disinggung masalah jumlah perijinan yang selama ini dipungut oleh pihak Pemkot Sukabumi, Eeng mengatakan belum bisa dipastikan apakah pungutan tersebut cacat hukum atau tidak. “Masalahnya, mereka (Pemkot Sukabumi) mempunyai landasan hukum dalam menerbitkan ijin, yaitu kepwal. Sehingga, harus diperjelas dulu seperti apa dilematis hukum tersebut. Kalau memang nantinya kekuatan PP jelas baru kita bisa mengatakan kepastiannya seperti apa,” tegas Eeng.
 Selain akan membawa permasalahan ini ke Pemprov Jabar, Eeng juga merencanakan memanggil pihak Pemkot Sukabumi untuk memperjelas masalah tersebut. Sehingga, ada titik terang permasalahan yang terus bergulir. “Mungkin setelah kita melakukan pertemuan dengan Pemprov Jabar baru kita akan panggil pihak Pemkot,” pungkasnya.
 Sementara itu, pengamat kebijakan publik, Asep Deni yang juga Dosen STIE PGRI ini menilai penerbitan kepwal yang baru dipersoalkan anggota dewan adalah salah satu bukti tidak sinerginya DPRD dengan Pemkot Sukabumi. Padahal kata Asep, salah satu fungsi dewan adalah mengontrol kebijakan yang diambil Pemkot Sukabumi. "Kalau sekarang baru dipersoalkan, berarti ada kesan dewan tidak memperhatikan tindak tanduk pemkot. Artinya fungsi kontrol dewan tidak optimal," kritik Asep.
 Seharusnya, lanjut Dia, jika dewan menjalankan fungsinya maka seharusnya sejak Juli tahun lalu, rencana penerbitan Kepwal ini diketahui badan legislatif itu. Sehingga harusnya sudah bisa mengkaji lebih dalam soal kekuatan hukum penerbitan kepwal itu, bukannya sekarang baru disoroti. "Bahkan ketika kepwal itu terbit kan, pasti ada tembusannya ke dewan, masa anggota dewan tidak tahu," imbuhnya.
 Di sisi lain, Asep memaklumi penerbitan kepwal itu sebagai langkah 'terjepit' yang dilakukan Pemkot Sukabumi lantaran akan terjadi kekosongan aturan menyusul berakhirnya masa berlaku perda RTRW pada Juni 2011. "Saya pikir itu memang harus dilakukan. Harus ada payung hukum untuk tetap mempertahankan agar pelayanan publik tetap berjalan," pungkasnya.(nur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar